http://komisigratis.com/?reg=lindrafebriansyah

Sabtu, 01 Juni 2013

Subsidi BBM: Kebijakan Politis atau Tanggung Jawab?

Ilustrasi (Foto : Okezone)SAMPAI kapan pun, pembahasan terkait pengurangan subsidi BBM akan selalu menjadi kontroversial. Pengurangan atau tidak, akan memiliki pengaruh yang besar dan langsung terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, tarik ulur kebijakan ini terletak pada pandangan yang berbeda antara pemerintah dan parlemen sehingga terkesan menjadi komoditas politik semata.  
Memasuki pertengahan tahun ini, pemerintah berencana mengurangi subsidi BBM yang pada 2012 hampir mencapai Rp250 triliun. Banyak hal yang menjadi pertimbangan pengurangan ini, mulai dari antisipasi perekonomian dunia yang tidak menentu, efisiensi APBN 2013 hingga anggapan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
 
Apapun itu, kebijakan ini tetap menjadi kebijakan yang tak populis di mata masyarakat. Faktanya memang demikian. Para pengguna BBM subsidi adalah mereka yang mampu. Di kota-kota besar, tempat di mana konsentrasi kendaraan bermotor, mobil-mobil pribadi melakukan pengisian dan penggunaan BBM bersubsidi paling dominan. Mereka adalah kalangan minoritas yang dapat dikatakan sebagai konsumen aktif.
 
Tidak adanya alternatif transportasi massal yang memadai, serta rendahnya kesadaran mereka menggunakan bahan bakar nonsubsidi menjadi faktor utama. Sementara, masyarakat kebanyakan yang menempati wilayah-wilayah pinggiran dan pedesaan adalah konsumen pasif karena akses yang terbatas baik terhadap BBM bersubsidi maupun penggunaan listrik PLN yang notabene juga menggunakan bahan bakar bersubsidi. Namun, mereka adalah kelompok pertama yang akan mendapatkan dampak karena secara otomatis kebijakan ini bersinonim dengan kenaikan kebutuhan pokok.         
 
Subsidi dan pertentangan yang politis
 
Sebagai negara pengimpor minyak mentah, Indonesia tidak akan pernah lepas dari pengaruh harga minyak dunia yang fluktuatif. Pembatasan dan penambahan subsidi BBM selalu mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan menjadi pertimbangan wajib dalam setiap pembahasan APBNP.
 
Hal ini yang kemudian menjadikan isu ini sebagai komoditas politik. Bahwa, tarik ulur pengurangan dan penambahan subsidi antara pemerintah dan parlemen, memperlihatkan keputusan yang diambil sebagai apologi politis. Sementara, pertimbangan-pertimbangan rasional berdasarkan kajian empirik pasca keputusan tersebut menjadi terabaikan.
 
Pemerintah selalu menekankan bahwa kebijakan yang tak populis ini diambil sebagai langkah penyelamatan APBN untuk keperluan-keperluan yang produktif seperti peningkatan infrastruktur dan pelayanan masyarakat lainnya. Sementara, parlemen berkilah bahwa pengurangan subsidi akan berdampak sistemik. Memacu peningkatan inflasi yang berarti menyengsarakan dan memunculkan kelompok miskin baru.
 
Selain itu, kebijakan ini dianggap akan mengganggu stabilitas ekonomi baik mikro dan makro yang berarti pengangguran akan semakin bertambah banyak. Tidak ada itikad untuk mengambil jalan tengah. Keduanya seakan sama-sama memiliki kebenaran absolut terhadap argumen masing-masing.
 
Selayaknya, pemerintah dan parlemen mampu mengesampingkan kepentingan politik mereka masing-masing. Pemerintah mencoba membuat regulasi-regulasi yang paling tepat dan parlemen melakukan kajian terhadap regulasi tersebut secara profesional. Setelah itu, sosialisasi secara masif wajib dilakukan kepada masyarakat luas. Secara bersamaan melakukan pengembangan energi terbarukan melalui diversifikasi sumber energi sehingga kampanye penghematan BBM yang selama ini dikumandangkan dapat terealisasi dengan baik. Dengan sendirinya, kebijakan ini senantiasa mendapat dukungan luas.
 
Subsidi dan tanggung jawab
 
Subsidi memang menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Namun, menjadi tidak fairmanakala hal ini dijadikan alasan untuk menolak pemerintah melakukan pengurangan subsidi. Pemerintah juga berkewajiban untuk memanfaatkan APBN sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak.
 
Pemerintah berujar, pengurangan subsidi akan menciptakan kesempatan untuk Negara mengembangkan infrastruktur pendukung peningkatan ekonomi dan pelayanan masyarakat lainnya. Maka menjadi tidak bijak manakala kita terjebak pada kebijakan tersebut. Terpenting adalah, kita mengkritik dan melakukan pengawasan terhadap regulasi-regulasi yang kelak menjadi acuan pemerintah ketika itu telah diterapkan. Seperti halnya dua harga yang berbeda untuk BBM bersubsidi. Perdebatan tidak terbatas kepada sejauh mana solusi ini mampu mengurangi BBM subsidi yang salah sasaran. Tapi jauh daripada itu, pengawasan di lapangan dan evaluasi menjadi hal yang utama.
 
Harapannya, kelak anggaran dari hasil pengurangan beban subsidi BBM relevan dengan kebutuhan masyarakat kebanyakan dan terhindar dari praktek-praktek korupsi. Memberikan tambahan subsidi pemerintah pusat kepada APBD setingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Tentunya hal ini harus diikuti dengan melahirkan sebuah regulasi yang mengatur penggunaan anggaran tambahan ini untuk kepentingan-kepentingan tertentu daerah yang bersifat produktif.
 
Hal-hal yang produktif tersebut dapat berupa peningkatan fasilitas-fasilitas umum yang mendukung perkembangan ekonomi serta peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan di daerah. Sementara, regulasi juga melarang penggunaannya yang hanya untuk kepentingan yang bersifat peningkatan belanja aparatur atau pegawai pemerintah daerah. Terlebih, melarang keras penggunaannya untuk bantuan-bantuan seperti bantuan langsung tunai dan sejenisnya yang justru semakin membuat APBN jauh dari sasaran sesungguhnya.

Tidak ada komentar: